Reog Ponorogo di Simalungun: Simfoni Budaya Jawa dan Batak yang Menginspirasi

Kab.simalungun5431 Dilihat

NUSANTARANEWS-TODAY Kabupaten Simalungun – Di jantung Sumatera Utara, tepatnya di tengah perbukitan hijau Simalungun, sebuah kisah akulturasi budaya yang luar biasa tengah terukir. Kesenian Reog Ponorogo, yang dikenal sebagai warisan megah dari Jawa Timur, kini tak hanya sekadar hadir, melainkan telah mengakar kuat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut nadi budaya masyarakat setempat. Kisah perjalanan Reog ini di tanah Batak adalah cerminan hidup dari semangat multikulturalisme dan harmoni.

Ketua Umum Komunitas Reog Jawa Peranakan Sumatera Utara (KJRPS), Muhammad Dimas Pramana, menjelaskan bahwa kedatangan Reog Ponorogo di Simalungun berawal dari jejak migrasi masyarakat Jawa sebagai buruh kontrak sekitar tahun 1999-2000. Para pendatang ini tak hanya membawa harapan akan kehidupan baru, tetapi juga membawa serta kekayaan tradisi dan kesenian mereka, termasuk Reog Ponorogo. Di tanah Simalungun, Reog tak hanya bertahan, namun beradaptasi dan berkembang seiring waktu.

banner

“Ada perpaduan yang indah antara Reog Ponorogo dengan unsur budaya Batak,” ungkap Dimas saat dikonfirmasi pada Kamis (22/5/2025). “Gerakan tari, musik, dan kostumnya memiliki sentuhan khas Simalungun.”

Adaptasi yang unik ini terlihat jelas dalam penggunaan beberapa alat musik tradisional Batak seperti gondang dalam pertunjukan Reog, meskipun alur musiknya tetap mempertahankan ciri khas Reog. Beberapa gerakan tari juga dipengaruhi oleh tari tradisional Simalungun, menciptakan sebuah harmoni yang memukau.


Reog Simalungun: Adaptasi dan Evolusi yang Unik

Dimas Pramana menyoroti perbedaan mendasar antara Reog Ponorogo di Simalungun dengan bentuk aslinya di Jawa Timur. “Banyak perbedaan, di mana Reog di Simalungun lebih fokus mengembangkan jaranan (kuda lumping) daripada Reog-nya sendiri,” jelasnya.

Selain itu, sebagian besar perlengkapan Reog di Simalungun diproduksi sendiri, menunjukkan kemandirian dan kreativitas lokal. Ia juga menjelaskan mengapa di Sumatera Utara, Reog dan jaranan disatukan. “Di Jawa Timur, Reog dan jaranan tidak disatukan karena memiliki makna dan fungsi yang berbeda; Reog ada unsur magis, sedangkan jaranan untuk menghibur raja dan masyarakat yang memiliki hajatan. Namun, di Sumatera Utara, keduanya disatukan karena tidak ada penjajah yang membatasi ekspresi budaya, berbeda dengan masa kolonial di Jawa,” terangnya.

Perbedaan mencolok lainnya adalah absennya konsep “kerajaan” atau “keraton” di Simalungun, yang menjadi ciri khas di Ponorogo. “Kita di Sumatera Utara tidak ada kerajaan yang mengikuti alur sama seperti Republik ini,” ujar Dimas. Kondisi ini justru memberikan kebebasan bagi para seniman di Simalungun untuk berkreasi tanpa terikat aturan keraton. Keberagaman masyarakat Simalungun, dengan banyak marga Batak seperti Damanik, Sitorus, dan Sihotang yang turut mempelajari kesenian ini, juga menjadi faktor penting dalam adaptasinya.


Regenerasi dan Pelestarian: Harapan Reog di Masa Depan

Di Simalungun, terdapat 46 sanggar seni yang aktif melestarikan Reog Ponorogo, meningkat pesat dari hanya 14 sanggar pada tahun 2019. KJRPS sendiri menaungi 179 sanggar Reog Ponorogo di seluruh Sumatera Utara, dengan total 13.000 anggota aktif di Simalungun.

“Kami ingin generasi muda Simalungun terus mencintai dan melestarikan Reog Ponorogo. Ini adalah warisan budaya yang tak ternilai,” kata Dimas. Setiap akhir pekan, sanggar-sanggar ini ramai dengan anak-anak muda yang antusias belajar menari, memainkan alat musik, dan membuat kostum. Semangat mereka menjadi harapan besar bagi keberlangsungan kesenian ini di masa depan.

Reog Ponorogo di Simalungun tak hanya menjadi tontonan seni, tetapi juga bagian integral dari upacara adat dan festival budaya, menambah semarak acara dan menarik wisatawan. Kehadirannya di ajang Internasional seperti F1 Powerboat Danau Toba 2024, di mana Reog Ponorogo tampil bersama kesenian tradisional lain dari Sumatera Utara, menunjukkan penerimaannya sebagai bagian dari keragaman budaya setempat.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Regenerasi seniman muda menjadi perhatian utama, serta peningkatan promosi sebagai daya tarik wisata budaya. Dimas Pramana juga menyebutkan tantangan lain seperti faktor usia pemain dan ketersediaan kostum yang belum memadai. Lebih lanjut, ia mengatasi pandangan kritis yang mengaitkan Reog dengan hal-hal bertentangan dengan agama, terutama Islam, dengan menekankan bahwa Reog adalah ranah budaya, bukan akidah. “Walaupun modernisasi terus berjalan, kesenian ini tidak akan pernah mati,” ujarnya optimis.

Dampak positif dari kehadiran Reog Ponorogo sangat terasa pada aspek sosial dan budaya, termasuk menghidupkan UMKM dan pengrajin lokal yang membuat kostum serta perlengkapan Reog. Antusiasme masyarakat Simalungun, bahkan dari kalangan non-Jawa, sangat tinggi, dengan banyak anak muda yang tertarik mempelajarinya.

Dengan semangat para seniman dan dukungan yang terus berkembang dari masyarakat, terutama diharapkan dari pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Bupati Anton Saragih yang dapat memfasilitasi kegiatan di ruang terbuka hijau, kesenian Reog Ponorogo di Simalungun akan terus hidup. Ini adalah bukti nyata bahwa harmoni budaya dapat bersemi dan berkembang di mana saja, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Simalungun.


(Josep Opranto Sagala)

Komentar